FATWA-FATWA TENTANG
PUASA
Meski bulan Ramadhan setiap tahun
mengunjungi umat Islam, tapi itu tidak menjamin semua hukum yang berkaitan
dengan Ramadhan dipahami secara baik oleh umat Islam. Untuk itu, redaksi
Al-Hujjah menurunkan fatwa-fatwa penting seputar puasa Ramadhan, bersumber dari
terjemah Kitab FATAWA ASH. SHIYAM, oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin
dan Syaikh Abdullah bin ABD. Rohman Al-Jabrein.
Selamat Mengikuti !
HUKUM PUASA
Puasa Ramadhan adalah sebuah kewajiban
yang jelas dalam kitab Allah, sunnah Rasulnya dan Ijma’ kaum muslimin. Allah
berfirman yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu sekalian
menjadi orang-orang yang bertaqwa (dalam) beberapa hari yang ditentukan. Maka
barang siapa yang sakit diantara kamu atau sedang dalam keadaan bepergian,
hendaklah ia menggantinya pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang-orang yang
udzur (sehingga ia tidak kuat berpuasa), maka hendaklah ia membayar fidyah
dengan memberi makan orang miskin. Barang siapa yang bersedia membayar lebih,
maka itu lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. (Puasa itu), dalam bulan ramadhan, menjadi petunjuk bagi manusia,
memberi penjelasan petunjuk-petunjuk itu dan menjadi furqon (pemisah antara yang
haq dan yang bathil). Barang siapa yang mengetahui sudah masuk bulan Ramadhan
maka hendaklah ia berpuasa. Barangsiapa sakit atau dalam keadaan bepergian, ia
boleh mengganti puasanya pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesusahan. Hendaklah kamu mencukupkan bilangan
hari puasa dan me-Maha Besarkan Allah, karena Dia telah menunjuki kamu sekalian
menjadi orang-orang yang bersyukur" (Al-Baqarah:183-185).
Rasulullah bersabda yang
artinya:
"Dibangun Islam itu atas
lima perkara, Syahadat
bahwa tidak ada yang disembah dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, Haji Baitullah dan puasa
ramadhan" (Muttafaq alaihi). Dan dalam riwayat Muslim: "Puasa ramadhan dan Haji
ke Baitullah".
Sementara itu kaum muslimin berijma’
(bersepakat) akan wajibnya puasa Ramadhan. Maka barang siapa yang mengingkari
kewajiban puasa Ramadhan, dia telah murtad dan kafir, harus disuruh bertaubat.
Kalau mau bertaubat dan mau mengakui kewajiban syari’at tadi maka dia muslim
kembali. Jika tidak, dia harus dibunuh karena kekafirannya.
Puasa Ramadhan wajib bagi setiap muslim
yang telah aqil baligh dan berakal sehat. Maka puasa tidak wajib atas orang
kafir dan tidak akan diterima pahalanya jika ada yang melakukannya sampai dia
masuk Islam. Puasa juga tidak wajib atas anak kecil sampai dia aqil baligh. Aqil
balighnya ini diketahui ketika dia telah masuk usia 15 tahun atau tumbuh rambut
kemaluannya atau keluar sperma ketika mimpi. Ini bagi anak laki-laki, sementara
bagi anak perempuan ditandai dengan haid (menstruasi). Maka jika anak telah
mendapati tanda-tanda ini, maka dia telah aqil baligh. Tetapi dalam rangka
sebagai latihan dan pembiasaan baiknya seorang anak disuruh untuk berpuasa, jika
kuat dan tidak membahayakannya. Puasa juga tidak wajib bagi orang yang
kehilangan akal baik itu karena gila atau penyakit syaraf atau sebab lainnya.
Berkenaan dengan inilah jika ada orang yang telah menginjak dewasa namun masih
tetap idiot dan tidak berakal sehat, tidak wajib baginya berpuasa dan tidak pula
menggantinya dengan membayar fidyah.
HIKMAH dan FAEDAH (MANFAAT)
PUASA
Diantara nama-nama Allah adalah bahwa
Allah itu "Al-Hakim" (Maha Bijaksana dan penuh hikmah). Hikmah adalah
profesionalisme dalam berbagai perkara dan meletakkan sesuai dengan tempatnya.
Maka nama Allah ini mengandung tuntunan makna bahwa setiap apa yang diciptakan
oleh Allah atau apa yang disyari’atkan olehNya, maka itu demi sebuah hikmah yang
balighoh, akan diketahui oleh orang yang mengetahui (berilmu) dan tidak akan
diketahui oleh orang yang bodoh.
Shaum yang disyari’atkan dan
difardhukan oleh Allah kepada hamba-hambanya mempunyai hikmah dan manfaat yang
banyak sekali. Diantara hikmah puasa adalah bahwa puasa itu merupakan ibadah
yang bisa digunakan seorang hamba untuk bertaqarrub kepada Allah dengan
meninggalkan kesenangan-kesenangan dunianya seperti makan, minum dan menggauli
istri untuk mendapatkan ridho Rabbnya dan keberuntungan di kampung kemuliaannya
(kampung akhirat. pent-). Dengan puasa ini jelas bahwa seorang hamba akan lebih
mementingkan kehendak Rabbnya daripada kesenangan-kesenangan pribadinya. Lebih
cinta kampung akhirat daripada kehidupan dunia. Hikmah puasa yang lain adalah
bahwa puasa adalah sarana untuk menghadapi derajat taqwa apabila seseorang
melakukannya dengan sesungguhnya (sesuai dengan syari’at). Allah berfirman yang
artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertaqwa" (Al-Baqarah:183).
Orang yang berpuasa berarti
diperintahkan untuk bertaqwa kepada Allah, yakni dengan mengerjakan
perintah-perintahNya dan menjauhi laranganNya. Inilah tujuan agung dari
diisyaratkannya puasa. Jadi bukan hanya sekedar melatih untuk meninggalkan makan
dan minum serta menggauli istri. Rasulullah bersabda yang
artinya:
"Barangsiapa yang tidak bisa
meninggalkan kata-kata kotor dan mengerjakannya serta tidak bisa meninggalkan
kebodohan, maka tidak ada perlunya bagi Allah (untuk memberi pahala) karena ia
telah meninggalkan makan dan minumnya" (HR. Bukhari).
Kata-kata kotor adalah setiap perkataan
yang haram hukumnya, seperti berkata dusta, ghibah, mencela dan sejenisnya.
Sementara amalan yang kotor adalah setiap perbuatan yang haram seperti
permusuhan sesama manusia, dengan berkhianat, menipu, memukul, mencuri harta dan
sejenisnya. Termasuk pula mendengarkan apa saja yang haram untuk didengarkan
seperti lagu-lagu haram, musik yang itu semuanya alat-alat yang melalaikan.
Kemudian yang dimaksud kebodohan adalah menjauhi kebenaran dalam kata dan
perbuatan.
Kalau orang yang berpuasa mampu
merealisasikan kandungan ayat Allah dan hadits nabi ini, maka puasanya akan
mampu menjadi tarbiyah bagi jiwanya, perbaikan bagi akhlaqnya dan pelurusan
perilakunya. Tidaklah bulan Ramadhan itu akan usai kecuali ia mendapatkan
pengaruh positif yang luar biasa yang akan nampak dalam diri, moral dan
perilakunya.
Hikmah puasa yang lain adalah
seorang kaya akan mengetahui nilai nikmat Allah dengan kekayaannya itu dimana
Allah telah memudahkan baginya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, seperti
makan, minum dan menikah serta apa saja yang dibolehkan oleh Allah dengan
syar’i. Allah telah memudahkan baginya untuk itu. Maka dengan begitu ia akan
bersyukur kepada Rabbnya atas karunia nikmat ini dan mengingat saudaranya yang
fakir, yang ternyata tidak dimudahkan untuk mendapatkannya. Dengan begitu ia
kan berderma
kepadanya dalam bentuk shadaqah dan ikhsan (berbuat
baik).
Diantara hikmah puasa juga melatih
seseorang untuk mengusai dan berdisiplin dalam mengatur jiwanya. Sehingga ia
akan mampu memimpin jiwanya demi kebahagiaan dan kebaikannya di dunia dan di
akhirat serta menjauhi sifat kebinatangan. Orang yang mempunyai sifat ini tidak
akan mampu untuk mengendalikan jiwanya dan syahwat serta kelezatan dunia. Puasa
juga mengandung berbagai macam manfaat kesehatan yang direalisasikan dengan
mengurangi makan dan mengistirahatkan alat pencernaan pada waktu-waktu tertentu
serta mengurangi kolesterol yang jika terlalu banyak akan mebahayakan
tubuh.
YANG MERUSAK dan MEMBATALKAN
PUASA
Yang membatalkan itu ada enam tujuan
:
1. Jima’
Yang dimaksud jima’ di sini adalah
masuknya dzakar (penis laki-laki) ke dalam farji wanita. Maka kapan saja orang
yang berpuasa melakukan jima’, sementara sedang melakukan puasa wajib, dia harus
menebusnya dengan membayar kaffarat yang berat karena perbuatan itu. Yakni
dengan memerdekakan budak. Kalau dia tidak mampu, harus berpuasa dua bulan
berturut-turut. Jika tidak mampu harus memberi makan enam puluh orang miskin.
Jika puasa yang dilakukan itu tidak wajib baginya, seperti seorang musafir yang
menggauli istrinya, maka dia harus mengqadha’ dan tidak membayar
kaffarat.
2. Keluarkan sperma
Yakni keluarnya sperma karena
berkencan, mencium, bergumul dan sejenisnya. Jika orang mencium istrinya tetapi
tidak mengeluarkan sperma, maka itu tidak apa-apa (tidak batal puasanya.
pent-).
3. Makan dan Minum
Yakni sampainya makanan dan minuman ke
dalam kerongkongan, baik dari jalan mulut atau hidung, makanan dan minuman apa
saja. Oleh karena itu tidak boleh bagi orang yang berpuasa menghisap rokok,
karena rokok itu sendiri adalah dosa, sedangkan mencium bau-bau yang wangi itu
tidak apa-apa.
4. Keluarnya Darah
Yakni keluarnya darah karena berbekam
atau yang sejenisnya, yang keluarnya itu memang disengaja dan cukup mempengaruhi
kondisi tubuh. Sedangkan keluar darah itu ringan (sedikit) karena untuk
pemeriksaan misalnya atau sejenisnya, maka itu tidak dibatalkan puasa. Karena
hal itu tidak mempengaruhi tubuh, tidak seperti pengaruh yang ditimbulkan dari
berbekam.
5. Muntah-muntah dengan
sengaja
Yakni mengeluarkan apa yang ada dalam
perut dari makanan dan minuman.
6. Keluarnya darah haid atau
nifas
Hal-hal yang membatalkan puasa ini
tidak sampai menyebabkan seseorang yang berpuasa harus berbuka kecuali dengan
tiga syarat:
Pertama: Mengetahui hukum dan
waktunya.
Kedua: Dalam kondisi ingat (tidak
lupa).
Ketiga: Memahami betul akan
permasalahannya.
Maka jika ada seorang yang berbekam,
kemudian tidak menyangka kalau berbekam itu dapat membatalkan puasanya, dia
tidak usah membatalkan puasanya dan puasanya itu sah. Karena pada hakekatnya ia
tidak mengetahui hukum yang sesungguhnya. Allah berfirman yang artinya: "Dan
tidak ada dosa bagimu karena kekhilafanmu tapi (yang menjadikan dosa) adalah apa
yang disengaja hatimu" (Al-Ahzab:5).
Seandainya ada seorang yang makan
sementara ia menyangka bahwa fajar belum terbit atau matahari telah terbenam,
maka puasanya sah karena ia tidak mengetahui waktu. Kemudian jika ada orang yang
makan dan lupa bahwa pada saat itu ia berpuasa, maka sah puasanya dan tidak
perlu membatalkan, sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya: "Barang siapa yang
lupa dalam keadaan berpuasa, kemudian makan dan minum, maka hendaklah ia
menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah lah yang memberinya makan dan minum
(saat itu)" (Muttafaq alaihi).
Jika seseorang dipaksa untuk berkumur,
kemudian tanpa sengaja air itu ada yang masuk ke perutnya, atau meneteskan air
mata kemudian ada yang sampai ke kerongkongan, atau bermimpi sampai mengeluarkan
sperma, maka puasanya tetap sah karena itu semua di luar kehendaknya. Demikian
pula tidak batal puasanya seseorang yang memakai siwak, bahkan itu sunnah baik
di waktu puasa atau waktu-waktu lainnya pada setiap awal siang dan
akhirnya.
SHALAT TARAWIH
Shalat tarawih adalah shalat
qiyamullail dengan berjama’ah pada bulan Ramadhan. Waktunya setelah shalat Isya’
sampai terbitnya fajar. Rasulullah telah memberikan rangsangan untuk
melakukannya dalam sebuah sabda beliau yang artinya:
"Barangsiapa yang melakukan qiyamullail
pada bulan Ramadhan dengan dasar keimanan dan menghitung-hitungkan (akan
pahalanya). Dia akan diampuni dosa-dosanya yang lampau" (HR. Bukhari dan
Muslim).
Dalam shahih Bukhari dari Aisyah ra
bahwasanya Rasulullah suatu ketika melakukan qiyamullail di masjid. Maka pada
saat itu banyak orang yang mengikuti shalat beliau, kemudian juga
kabilah-kabilah yang lain, sehingga jumlah mereka banyak sekali. Kemudian pada
malam ke tiga atau ke empat sebagaimana biasa mereka berkumpul (hendak melakukan
shalat. pent-) namun Rasulullah tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Ketika
pagi tiba beliau bersabda yang artinya: "Sesungguhnya aku telah mengetahui apa
yang telah kalian perbuat. Tidak ada yang menghalangiku keluar (untuk shalat)
bersama kalian kecuali saya khawatir (kalian menganggap) shalat itu diwajibkan
atas kalian".
Shalat di atas dilakukan pada bulan
Ramadhan. Dan yang sesuai dengan sunnah adalah shalat itu dilaksanakan dengan
sebelas raka’at, tiap dua raka’at salam. Karena Aisyah ra ketika ditanya
bagaimana shalatnya Rasulullah pada bulan Ramadhan, dia
menjawab:
"Beliau (rasulullah) tidak pernah
menambah atas sebelas raka’at pada bulan Ramadhan atau bulan lainnya" (Muttafaq
alaih).
Dalam kitab Al-Muwaththa’ dari
Muahammad bin Yusuf (seorang perawi yang kuat dan bisa dipercaya) dari As-Saaib
bin Yazid bahwasanya Umar bin Khattab ra menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim
Ad-Daary untuk melakukan shalat bersama berjama’ah dengan sebelas
raka’at. Jika menambah jumlah dari yang sebelas ini maka tidak apa-apa
karena Rasulullah ditanya tentang Qiyamullail, beliau menjawab, yang artinya:
"Dua-dua, maka jika salah satu seorang diantara kamu khawatir tiba waktu shubuh,
hendaklah dia shalat satu raka’at sebagai witir dari shalatnya" (HR. Bukhari
Muslim).
Akan tetapi berpegang teguh dengan
jumlah raka’at yang dijelaskan oleh sunnah dengan penuh ketenangan dan
memanjangkan shalat yang tidak memberatkan jama’ah yang lain, lebih utama dan
lebih sempurna. Ada pun apa yang saat
ini dilakukan sebagian orang, yakni mempercepat shalat yang berlebihan, maka itu
bertentangan dengan syari’at. Apalagi dengan cepat itu merusak rukun wajibnya,
maka yang semacam ini dapat membatalkan shalat. Banyak para imam (pemimpin) yang
tidak mau hadir shalat tarawih (dia shalat sendiri di rumah. pent-). Ini salah
karena seharusnya imam itu tidak hanya shalat untuk dirinya saja akan tetapi
juga untuk orang lain. Maka posisi imam di sini bak seorang pemimpin masyarakat
yang harus melakukan sesuatu yang lebih mendatangkan
mashlahat.
Para ‘ulama juga menyebutkan
bahwa hukumnya makruh bagi seorang imam yang mempercepat shalatnya, hingga
menghalangi makmum untuk melakukan amalan yang sunnah. Ini amalan yang sunnah,
bagaimana jika seorang imam mempercepat shalatnya sampai menghalangi makmum
berbuat yang wajib? Dianjurkan bagi para jama’ah untuk menjaga dan memelihara
shalat tarawih ini, jangan sampai mentelantarkannya dengan berganti-ganti masjid
(tidak teratur sampai meninggalkan jama’ah. pent-) karena barang siapa yang
shalat bersama imam sampai selesai, akan dicatat baginya pahala shalat semalam
suntuk, kendati setelah itu dia tidur. Tidak menjadi masalah jika kaum wanita
hadir, turut melakukan shalat tarawih jika aman dari fitnah. Dengan syarat
keluar dari rumah menuju masjid dengan hijab sempurna dan tidak tabarruj
(bersolek) dengan menggunakan perhiasan dan
wangi-wangian.(FSA)
FATWA-FATWA TENTANG PUASA
(2)
HUKUM PUASA BAGI ORANG YANG SAKIT DAN
MUSAFIR
Allah berfirman yang artinya
:
"Dan barangsiapa yang sakit atau dalam
keadaan bepergian hendaklah ia mengganti pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran."
(Al-Baqarah:185).
Orang sakit ada dua macam, pertama
orang yang sakit terus-menerus dan tidak dimungkinkan kesembuhannya seperti
kanker, maka tidak wajib baginya berpuasa karena kondisinya memang tidak
memungkinkan untuk itu, akan tetapi ia harus membayar fidyah dengan cara memberi
makan seorang miskin setiap harinya. Mungkin pula untuk mengumpulkan orang-orang
miskin sejumlah hari yang di situ ia tidak berpuasa. Lalu mereka diberi makan.
Ini sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik ra ketika ia menginjak usia
senja. Atau dengan cara memberi makan tiap orang miskin dengan hari-hari ia
tidak berpuasa. Tiap orang seperempat Sho’ atau setengah kilo dan sepuluh gram
gandum yang baik kualitasnya atau makanan pokok lainnya. Dan sebaiknya disertai
dengan lauk-pauk yang biasa ia makan seperti daging atau bumbu lain. Juga bagi
orang tua yang tidak mampu melakukan puasa, hendaklah ia memberi makan setiap
harinya satu orang miskin.
Yang kedua adalah orang yang sakitnya
masih dimungkinkan kesembuhannya seperti sakit panas dan yang sejenisnya. Untuk
yang jenis ini ada tiga kondisi:
Pertama : Tidak berat baginya berpuasa
dan tidak membahayakan sakitnya. Jika demikian dia wajib berpuasa karena
penyakitnya ini tidak dikategorikan sebagai udzur.
Kedua : Berat baginya berpuasa, namun
kalau seandainya dia berpuasa itu tidak akan membahayakan penyakitnya. Jika
demikian dia makruh hukumnya berpuasa karena dia melaksanakan rukhsoh (bukan
lagi sebagai hal yang wajib pent.) dengan kondisi beratnya jiwa karena sakitnya
tadi.
Ketiga : Puasa itu membahayakan
dirinya. Jika demikian maka haram hukumnya dia berpuasa karena ada bahaya yang
mengenai dirinya. Allah berfirman yang artinya:
"Dan janganlah kamu sekalian membunuh
diri-diri kalian karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu"
(An-Nisa’:29).
Allah juga berfirman yang
artinya:
"Dan janganlah kamu mencelakakan dirimu
sendiri" (Al-Baqarah:195).
Dalam hadits Rasulullah bersabda yang
artinya:
"Tidak ada bahaya dan tidak boleh ada
yang membahayakan" (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Imam Nawawi berkata: "Hadits mempunyai
banyak riwayat yang saling menguatkan satu dengan yang
lain".
Bahaya puasa bagi orang yang sakit itu
bisa diketahui dengan rasa dari si penderita atau dengan petunjuk dokter yang
bisa dipercaya. Pada kondisi ini jika si penderita membatalkan puasanya, ia
mengqodho’ puasanya jika telah sembuh dari sakitnya. Jika dia meninggal sebelum
sempat mengqodho’, maka tidak ada qodho’ baginya karena yang asal adalah
mengganti puasanya pada hari yang lain, sementara dia tidak bisa melakukan pada
hari itu karena dipanggil Allah.
Mengenai orang yang sedang bepergian
(musafir) maka ada dua macam:
Pertama : Orang yang dengan
bepergiannya itu mempunyai niat untuk membatalkan puasanya. Untuk yang seperti
ini tidak boleh berbuka dengan alasan bepergian karena niat untuk tidak
melakukan salah satu kewajiban yang telah digariskan oleh Allah itu tidak bisa
menggugurkannya.
Kedua : Bepergian yang tidak bermaksud
seperti di atas. Untuk yang ini ada tiga macam konsisi:
1) Berat sekali baginya berpuasa karena
bepergian itu. Maka haram baginya berpuasa. Karena pada waktu perang Fathu
Mekkah Rasulullah menjumpai seseorang yang sedang berpuasa. Diberitahukan kepada
beliau bahwasanya banyak orang yang merasa berat puasanya. Mereka juga melihat
bagaimana kepunyaan orang yang berpuasa tadi. Maka saat itu Rasulullah menyuruh
untuk mengambil secawan air setelah tiba waktu Ashar. Orang yang berpuasa tadi
meminumnya dan dilihat orang banyak. Dia berkata bahwa sebagian orang masih
berpuasa. Maka Rasululullah bersabda: "Mereka itu berbuat maksiat, mereka itu
berbuat maksiat" (HR. Muslim).
2) Puasa itu memberatkan baginya, namun
tidak seberapa. Untuk kondisi itu makruh hukumnya dia berpuasa, karena dia
berarti melaksanakan yang rukhshoh (keringanan) dengan kondisi
berat.
3) Tidak berat baginya berpuasa. Untuk
kondisi ini dia bebas memilih untuk berpuasa atau membatalkannya. Sebagaimana
firman Allah: "Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki
kesukaran" (Al-Baqarah:185).
Yang dimaksud "Yuriidu" (menghendaki)
di sini adalah "senang".
Jika antara puasa dan berbuka sama
kondisinya, maka puasa itu lebih baik baginya karena hal itu telah dilakukan
oleh Rasulullah. Hal itu sebagaimana termaktub dalam Shahih Muslim dari Abi
Dardah ra, berkata:
"Kami keluar bersama Rasulullah, pada
bulan Ramadhan di tengah panas terik matahari, sampai-sampai salah seorang di
antara kami tidak satu pun berpuasa, kecuali Rasulullah dan Abdullah bin
Rowahah".
Orang yang bepergian (musafir)
terhitung sejak ia keluar dari kampungnya sampai dia kembali. Jika ia di sebuah
kampung yang menjadi tujuan bepergiannya beberapa waktu lamanya, maka dia tetap
seorang musafir selama dia tidak beminat muqim (menetap) di tempat itu sampai
selesai tujuan bepergian di tempat itu lagi. Maka dia mendapatkan keringanan
untuk melakukan rukhsah-rukhsah bepergian, meski dalam waktu yang cukup
lama.
Karena tidak riwayat Rasulullah akan
batasan waktu yang mengharuskan orang itu berstatus bukan musafir. Dengan
demikian yang asal adalah tetapnya safar dan hukum-hukumnya sampai adanya dalil
yang meniadakan atau membatalkan hukumnya. Bepergian (safar) yang mendapatkan
rukhsah ini tidak ada bedanya dengan safar seperti haji, umrah dan ziarah.....
Dan safar yang terus-menerus seperti safar mereka yang menjadi sopir mobil besar
lainnya. Kapan saja mereka keluar dari kampungnya, maka mereka berstatus sebagai
musafir, boleh melakukan apa saja yang dibolehkan bagi musafir-musafir lain,
seperti tidak berpuasa di bulan Ramadhan, mengqashar shalat dari empat raka’at
menjadi dua raka’at, dan menjamak jika perlu antara dhuhur dan ashar, antara
maghrib dan isya’. Tidak berpuasa itu lebih utama bagi mereka, jika mudah bagi
mereka untuk mengqodho’nya di hari-hari yang lain. Ini dikarenakan sopir-sopir
mobil itu mempunyai kampung yang mereka berintima’ (loyalitas) kepadanya. Oleh
karena itu kapan saja mereka berada di kampung mereka, mereka berstatus sebagai
muqim. Begitu juga bila mereka bepergian dari kampung mereka, maka mereka
berstatus sebagai musafir dan berhak melakukan apa saja yang diperintahkan bagi
orang-orang musafir.
ZAKAT DAN FAIDAHNYA
(MANFAATNYA).
Zakat adalah merupakan salah satu
faridhoh (kewajiban) dalam Islam, bahkan ia adalah salah satu rukun (pilar
penyangga)nya setelah syahadat dan shalat. Wajibnya zakat ini didasarkan kepada
kitab Allah, sunnah RasulNya dan ijma’ kaum muslimin. Barang siapa yang
mengingkari wajibnya zakat ini, maka dia telah kafir dan murtad dari Islam,
harus disuruh bertaubat. Jika tidak harus dibunuh. Dan barang siapa kikir atau
mengurangi kadar kewajibannya, maka dia tergolong orang-orang yang dhalim dan
berhak mendapat siksa dari Allah. Allah berfirman yang
artinya:
"Janganlah orang-orang yang bakhil
terhadap karunia yang diberikan Allah kepadanya itu menduga bahwa sikap demikian
itu baik baginya, sebaliknya kebakhilan itu buruk akibatnya. Nanti akan
dikalungkan baginya harta benda yang mereka bakhilkan itu di hari kiamat. Dan
kepunyaan Allah warisan (segala yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka kerjakan" (Ali Imran 180).
Di dalam Shahih Bukhari dari Abu
Hurairah ra berkata, telah bersabda Rasulullah:
"Barang siapa yang dikarunia Allah
harta, kemudian tidak mau mengeluarkan zakatnya, pada hari kiamat nanti ia akan
serupa dengan ular yang tercabut semua rambut kepalanya (botak) yang mempunyai
dua ingus tebal (menempel di kedua pojok mulutnya). Kemudian kedua mulutnya
menganga sambil berteriak ‘Aku adalah pemilik harta, aku adalah harta yang kau
pendam’".
Allah juga berfirman yang
artinya:
"Dan orang-orang yang menyimpan emas
dan perak dan tidak mengeluarkan zakatnya di jalan Allah, berilah peringatan
dengan azab yang pedih. Pada hari itu emas dan perak yang ditumpukkan tadi
dipanaskan dalam neraka jahannam, lalu disetrikakan pada dahi, rusuk dan
punggung mereka. (Kepada mereka dikatakan): ‘Inilah harta benda yang kau simpan
untuk dirimu, maka rasakanlah adzab dari harta yang kau simpan itu"
(AT-Taubah:34-35).
Dalam Shahih Muslim Abu Hurairah ra,
bahwasanya Rasulullah bersabda:
"Tak satu pun para pemilik emas dan
perak yang tidak ditunaikan haknya, kecuali di hari kiamat akan didatangkan
batu-batu lebar dari mulut neraka, kemudian batu-batu itu dipanaskan di neraka
jahannam, lalu disetrikakan di atas rusuk, dahi dan punggungnya. Setiap terasa
agak dingin akan terus diulangi. (Itu terjadi) pada hari yang lamanya sama
dengan lima puluh ribu tahun,
sampai Allah memutuskan semua perkara pada
hamba".
Zakat mempunyai manfaat spritual
(agama), moral dan sosial yang banyak sekali. Kami di sini akan menyebutkan
beberapa diantaranya.
MANFAAT SPRITUAL
1) Zakat merupakan bentuk realisasi
dari salah satu rukun Islam, yang merupakan kunci kebahagiaan hamba dunia dan
akhirat.
2) Zakat merupakan sarana seorang hamba
untuk bertaqarrub kepada Rabbnya, untuk meningkatkan kualitas imannya. Nilainya
sama dengan berbagai bentuk dan sarana ketaatan lainnya.
3) Melaksanakan zakat akan memperoleh
pahala yang besar. Allah berfirman:
"Allah memusnahkan riba’ dan
menghidupsuburkan shadaqah" (Al-Baqarah:276).
Allah juga
berfirman:
"Dan apa yang kamu berikan sebagai
tambahan (riba) untuk menambah harta manusia, maka riba itu tidak akan bertambah
di sisi Allah. Dan yang kamu berikan berupa zakat demi mengharapkan keridhaan
Allah, maka mereka (yang menunaikan zakat itu) melipatgandakan pahalanya"
(Ar-rum:39).
Rasulullah
bersabda:
"Barangsiapa bersedekah dengan sebiji
kurma atau yang setara dengan itu dari hasil kerja yang baik dan Allah tidak
menerima kecuali yang baik, maka Allah akan mengambil sebiji kurma tadi dengan
tangan kananNya kemudian mengembangsuburkan bagi pemiliknya sebagaimana salah
seorang di antara kamu menumpuk tanah liat sampai seperti bukit" (HR. Bukhari
Muslim).
4) Dengan zakat Allah akan menghapus
kesalahan-kesalahan sebagaimana Rasulullah bersabda:
"Shadaqah itu bisa memadamkan
kesalahan-kesalahan sebagaimana memadamkan api".
Yang dimaksud shadaqah di sini adalah
zakat dan shadaqah sunnah lain.
MANFAAT MORAL
1) Dengan zakat seorang muzakki (yang
berzakat) akan berjumpa dengan kafilah para dermawan yang mempunyai tenggang
rasa dan perasaan kasih untuk memberi.
2) Zakat akan membuahkan sifat
(penyayang) dan lemah lembut bagi muzakki kepada saudara-saudara yang
kekurangan. Dan orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha
Penyayang.
3) Sebuah realita, bahwa mendermakan
harta dan tenaga kaum muslimin itu akan melapangkan dada dan dimuliakan jiwa
serta menjadikan seseorang itu dicintai dan dimuliakan oleh saudara-saudaranya
sesuai dengan kadar yang didermakan itu.
4) Dalam zakat ada sarana penyucian
moralitas sang muzakki dari sifat bakhil dan kikir. Sebagaimana firman Allah:
"Ambillah sebagian dari harta-harta mereka sebagai shadaqah yang akan
membersihkan dan mensucikan mereka" (At-Taubah:103).
MANFAAT SOSIAL
1) Dalam zakat ada dorongan untuk
memenuhi kebutuhan fakir miskin yang mereka ini termasuk mayoritas di sebagian
besar negara.
2) Zakat merupakan unsur kekuatan kaum
muslimin dan peningkatan posisi mereka. Oleh karena itu salah satu sisi
fungsionalisasi zakat adalah untuk jihad fi sabilillah.
3) Zakat berfungsi untuk menghilangkan
rasa dengki dan permusuhan yang ada adalah dada orang-orang yang fakir dan
kekurangan. Karena jika mereka melihat orang-orang kaya menikmati harta dan sama
sekali tidak dimanfaatkan untuk mereka yang kekurangan sedikit atau banyak, maka
kondisi ini akan memicu permusuhan dan dengki terhadap orang-orang kaya.
Diantara mereka ini tidak menjaga hak fakir miskin dan tidak berusaha untuk
turut memenuhi kebutuhan mereka. Nah, jika orang-orang kaya itu mendermakan
hartanya setiap tahun, tentu kesenjangan seperti ini akan hilang dan berubah
menjadi rasa cinta kasih dan persaudaraan.
4) Dalam zakat ada budidaya harta dan
memperbanyak berkah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwasanya Rasulullah
bersabda:
"Tidaklah shadaqah itu mengurangi
harta, yakni jika akan mengurangi dari segi kuantitas, maka ia tidak akan
berkurang dari segi barokah dan akan bertambah pada masa yang akan datang,
bahkan Allah akan menyediakan penggantinya dan memberikan berkah di
dalamnya".
5) Dalam zakat ada perluasan wilayah
pendistribusian harta. Karena jika harta itu disedekahkan akan semakin luas
wilayahnya, jangkauannya dan dimanfaatkan oleh orang banyak. Berbeda mana kala
harta itu hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja, tentu orang-orang
fakir tidak akan mendapatkan bagian apa-apa.
Manfaat-manfaat yang bisa diperoleh
dari zakat ini semuanya menunjukkan bahwa zakat itu penting untuk mengikhlaskan
(memperbaiki) individu dan masyarakat. Sungguh Maha Suci Allah Yang Maha
Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Zakat itu wajib ditunaikan untuk
harta-harta tertentu, seperti emas dan perak dengan syarat telah sampai
nishabnya (batas minimal untuk mengeluarkan zakat). Diantara harta yang harus
dikeluarkan zakatnya adalah perdagangan, yaitu apa saja yang diperdagangkan
seperti barang-barang kebutuhan rumah tangga, mobil, hewan dan perkakas
sehari-hari serta komoditi-komoditi lainnya dari macam-macam harta perdagangan.
Adapun zakatnya dalah dua setengah persen (2,5 %). Maka hendaklah menghitung
harta itu pada akhir tahun untuk dikeluarkan dua setengah persen-nya untuk
zakat, baik lebih sedikit. lebih banyak atau sama dengan pembeliannya. Sedangkan
harta yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan seperti perkakas rumah tangga dan
mobil pribadi (yang tidak diperjualbelikan) maka tidak dikenakan zakat,
sebagaimana sabda Rasulullah , yang artinya:
"Tidak ada (zakat) bagi seorang muslim
dalam diri budak dan kudanya, akan tetapi wajib zakat untuk upah, jika telah
memenuhi haul (genap satu tahun)".
Wallahu a’lam.
(FSA)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al
Jabrein.