Al-faqirah Ilallah

Sunnah-sunnah Puasa
Home
Skima Tarbiyyah Peringkat Satu
Skima Tarbiyyah Peringkat Dua
Skima Tarbiyyah Peringkat Tiga
Ayat Hafazan
Bahan-bahan Usrah
Catatan Usrah Mingguan
Artikel Pilihan
Subhaanallah

ZAKAT FITRAH

Diantara dalil yang menganjurkan untuk menunaikan zakat fitrah adalah :

1.  Firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat" (Al-A'la: 14-15)

2.  Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu, ia berkata :
" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah bagi orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan agar (zakat fituah tersebut) ditunaikan sebelum orang-orang melakukan shalat 'Id (hari Raya) "  (Muttafaq 'Alaih)

Setiap muslim wajib membayar zakat fitrah untuk dirinya dan orang yang dalam tanggungannya sebanyak satu sha'  (+- 3 kg) dari bahan makanan yang berlaku umum di daerahnya. Zakat tersebut wajib baginya jika masih memiliki sisa makanan untuk diri dan keluarganya selama sehari semalam.
Zakat tersebut lebih diutamakan dari sesuatu yang lebih bermanfaat bagi fakir miskin.

Adapun waktu pengeluarannya yang paling utama adalah sebelum shalat 'Id, boleh juga sehari atau dua lari sebelumnya, dan tidak boleh mengakhirkan mengeluaran zakat fitrah setelah hari Raya. Dari Ibnu

Abbas radhiallahu 'anhuma :
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fihrah sebagai penyuci orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan ucapan kotor, dan sebagai pemberian makan kepada fakir miskin.

"Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat 'Id, maka zakatnya diterima, dan barang siapa yang membayarkannya setelah shalat 'Id maka ia adalah sedekah biasa. "(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
(Dan diriwayatkan pula Al Hakim, beliau berkata : shahih menurut kriteria Imam Al-Bukhari.)

Zakat fitrah tidak boleh diganti dengan nilai nominalnya(*),(*)''' Berdasarkan hadits Abu Said Al Khudhri yang menyatakan bahwa zakat fithrah adalah dari limajenis makanan pokok (Muttafaq 'Alaih). Dan inilah pendapat jumhur ulama. Selanjutnya sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud adalah makanan pokok masing-masing negeri. Pendapat yang melarang mengeluarkan zakat fithrah dengan uang ini dikuatkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu hlaihi wasallam juga terdapat nilai tukar (uang), dan seandainya dibolehkan tentu beliau memerintahkan mengeluarkan zakat dengan nilai makanan tersebut, tetapi beliau tidak melakukannya. Adapun yang membolehkan zakat fithrah dengan nilai tukar adalah Madzhab Hanafi.

Karena hal itu tidak sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan diperbolehkan bagi jamaah (sekelompok manusia) membeyikan jatah seseorang, demikian pula seseorang boleh memberikan jatah orang banyak.

Zakat fitrah tidak boleh diberikan kecuali hanya kepada fakir miskin atau wakilnya. Zakat ini wajib dibayarkan ketika terbenamnya matahari pada malam 'Id. Barangsiapa meninggal atau mendapat kesulitan (tidak memiliki sisa makanan bagi diri dan keluarganya, pen.) sebelum terbenamnya matahari, maka dia tidak wajib membayar zakat fitrah. Tetapi jika ia mengalaminya seusai terbenam matahari, maka ia wajib membayarkannya (sebab ia belum terlepas dari tanggungan membayar fitrah).

Hikmah disyari'atkannya Zahat Fitrah

Di antara hikmah disyari'atkannya zakat fitrah adalah :

a.  Zakat fitrah merupakan zakat diri, di mana Allah memberikan umur panjang baginya sehingga ia bertahan dengan nikmat-l\lya.

b.  Zakat fitrah juga merupakan bentuk pertolongan kepada umat Islam, baik kaya maupun miskin sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada Allah Ta'ala dan bersukacita dengan segala anugerah nikmat-Nya.

c.  Hikmahnya yang paling agung adalah tanda syukur orang yang berpuasa kepada Allah atas nikmat ibadah puasa. (Lihat Al Irsyaad Ila Ma'rifatil Ahkaam, oleh Syaikh Abd. Rahman bin Nashir As Sa'di, hlm. 37. )

d. Di antara hikmahnya adalah sebagaimana yang terkandung dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma di atas, yaitu puasa merupakan pembersih bagi yang melakukannya dari kesia-siaan dan perkataan buruk, demikian pula sebagai salah satu sarana pemberian makan kepada fakir miskin.

Ya Allah terimalah shalat· kami, zakat dan puasa kami serta segala bentuk ibadah kami sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan selalu kepada Nabi Muhammad, segenap keluarga dan sahabatnya. Amin.

 

HARI RAYA

Hari raya adalah saat berbahagia dan bersuka cita. Kebahagiaan dan kegembiraan kaum mukminin di dunia adalah karena Tuhannya, yaitu apabila mereka berhasil menyempurnakan ibadahnya dan memperoleh pahala amalnya dengan kepercayaan terhadap janji-Nya kepada mereka untuk mendapatkan anugerah dan ampunan-Nya. Allah Ta 'ala berfirman :
"Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.
Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. "
(Yunus: 58).

Sebagian orang bijak berujar: "Tiada seorang pun yang bergembira dengan selain Allah kecuali karena kelalaiannya terhadap Allah, sebab orang yang lalai selalu bergembira dengan permainan dan hawa nafsunya, sedangkan orang yang berakal merasa Senang dengan Tuhannya."

Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam tiba di Madinah, kaum Anshar memiliki dua hari istimewa, mereka bermain-main di dalamnya, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Allah telah memberi ganti bagi kalian dua hari yang jauh lebih baik, (yaitu) 'Idul fitri dan 'Idul Adha (HR. Abu Daud dan An-Nasa'i dengan sanad hasan).

Hadits ini menunjukkan bahwa menampakka rasa suka cita di hari Raya adalah sunnah da disyari'atkan. Maka diperkenankan memperluas hari Raya tersebut secara menyeluruh kepada segenap kerabat dengan berbagai hal yang tidak diharamkan yang bisa mendatangkan kesegaran badan dan melegakan jiwa, tetapi tidak menjadikannya lupa untuk ta'at kepada Allah.

Adapun yang dilakukan kebanyakan orang di saat hari Raya dengan berduyun-duyun pergi memenuhi berbagai tempat hiburan dan permainan adalah tidak dibenarkan, karena hal itu tidak sesuai dengan yang disyari'atkan bagi mereka seperti melakukan dzikir kepada Allah. Hari Raya tidak identik dengan hiburan, permainan dan penghambur-hamburan (harta), tetapi hari Raya adalah untuk berdzikir kepada Allah dan bersungguh-sungguh dalam beribadah. Makanya Allah gantikan bagi umat ini dua buah hari Raya yang sarat dengan hiburan dan permainan dengan dua buah Hari Raya yang penuh dzikir, syukur dan ampunan.

Di dunia ini kaum mukminin mempunyai tiga hari Raya: hari Raya yang selalu datang setiap minggu dan dua hari Raya yang masing-masing datang sekali dalam setiap tahun.

Adapun hari Raya yang selalu datang tiap minggu adalah hari Jum'at, ia merupakan hari Raya mingguan, terselenggara sebagai pelengkap (penyempurna) bagi shalat wajib lima kali yang merupakan rukun utama agama islam setelah dua kalimat syahadat.

Sedangkan dua hari Raya yang tidak berulang dalam waktu setahun kecuali sekali adalah:

1. 'Idul Fitri setelah puasa Ramadhan, hari raya ini terselenggara sebagai pelengkap puasa Ramadhan yang merupakan rukun dan asas Islam keempat. Apabila kaum muslimin merampungkan puasa wajibnya, maka mereka berhak mendapatkan ampunan dari Allah dan terbebas dari api Neraka, sebab puasa Ramadhan mendatangkan ampunan atas dosa yang lain dan pada akhirnya terbebas dari Neraka.

Sebagian manusia dibebaskan dari Neraka padahal dengan berbagai dosanya ia  semestinya masuk Neraka, maka Allah mensyari'atkan bagi mereka hari Raya setelah menyempurnakan puasanya, untuk bersyukur kepada Allah, berdzikir dan bertakbir atas petunjuk dan syari'at-Nya berupa shalat dan sedekah pada hari Raya tersebut.

Hari Raya ini merupakan hari pembagian hadiah, orang-orang yang berpuasa diberi ganjaran puasanya, dan setelah hari Raya tersebut mereka mendapatkan ampunan.

2. 'Idul Adha Oiari Raya Kurban), ia lebih agung dan utama daripada 'Idul Fitri. Hari Raya ini terselenggara sebagai penyempurna ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima, bila kaum muslimin merampungkan ibadah hajinya, niscaya diampuni dosanya.

Inilah macam-macam hari Raya kaum muslimin di dunia, semuanya dilaksanakan saat rampungnya ketakwaan kepada Yang Maha Menguasai dan Yang Maha Pemberi, di saat mereka berhasil memperoleh apa yang dijanjikan-Nya berupa ganjaran dan pahala. (Lihat  Lathaa'iful Ma'arif,  oleh Ibnu Rajab, hlm. 255-258)

 

PETUNJUK NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WASALLAM TENTANG HARI RAYA

Pada saat hari Raya 'Idul Fitri, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengenakan pakaian terbaiknya dan makan kurma -dengan bilangan ganjil tiga, lima atau tujuh- sebelum pergi melaksanakan shalat 'Id. Tetapi pada'Idul Adha beliau tidak makan terlebih dahulu sampai beliau pulang, setelah itu baru memakan sebagian daging binatang sembelihannya.

Beliau mengakhirkan shalat 'Idul Fitri agar kaum muslimin memiliki kesempatan untuk membagikan zakat fitrahnya, dan mempercepat pelaksanaan shalat 'Idul Adha supaya kaum muslimin bisa segera menyembelih binatang kurbannya.

Mengenai hal tersebut, Allah Ta 'ala berfirman :
"Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah " (Al Kautsar: 2).

Ibnu Umar sungguh dalam mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak keluar untuk shalat 'Id kecuali setelah terbit matahari, dan dari rumah sampai ke tempat shalat beliau senantiasa bertakbir.

Nabi shallallahu blaihi wasallam melaksanakan shalat' Id terlebihdahulu baru berkhutbah, dan beliau shalat duaraka'at· Pada rakaat pertama beliau bertakbir 7 kali berturut-turut dengan Takbiratul Ihram, dan berhenti sebentar di antara tiap takbir. Beliau tidak mengajarkan dzikir tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja ada riwayat dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu, ia berkata: "Dia membaca hamdalah dan memuji Allah Ta 'ala serta membaca shalawat.

Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Umar mengangkat kedua tangannya pada setiap bertakbir.

Sedangkan Nabi shallallah u 'alaihi wasallam setelah bertakbir membaca surat Al-Fatihah dan "Qaf" pada raka'at pertama serta surat "Al-Qamar" di raka'at kedua.

Kadang-kadang beliau membaca surat "Al-A'la" pada raka'at pertama dan "Al-Ghasyiyah" pada raka'at kedua. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku' dilanjutkan takbir 5 kali pada raka'at kedua lain membaca Al-Fatihah dan surat. Setelah selesai beliau menghadap ke arah jamaah, sedang mereka tetap duduk di shaf masing-masing, lalu beliau menyampaikan khutbah yang berisi wejangan, anjuran dan larangan.

Beliau selalu melalui jalan yang berbeda ketika yang terkenal sangat bersungguh-mengikuti sunnah Nabi shallallahu berangkat dan pulang (dari shalat) 'Id.' Beliau selalu mandi sebelum shalat 'Id.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam senantiasa memulai setiap khutbahnya dengan  hamdalah, dan bersabda :
"Setiap perkara yang tidak dimulai dengan hamdalah, maka ia terputus (dari berkah). " (HR.Ahmad dan lainnya).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, ia berkata :
"Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menunaikan shalat 'Id dua raka'at tanpa disertai shalat yang lain baik sebelumnya  ataupun sesudahnya. " (HR. Al Bukhari dan Muslim dan yang lain).

Hadits ini menunjukkan bahwa shalat 'Id itu hanya dua raka'at, demikian pula mengisyaratkan tidak disyari'atkan shalat sunnah yang lain, baik sebelum atau sesudahnya. Allah Mahatahu segala sesuatu, shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, seluruh anggota keluarga dan segenap sahabatnya.

KEUTAMAAN PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWAL

Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu 'anhu meriwayatkan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun . (HR. Muslim).

Imam Ahmad dan An-Nasa'i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi shallallahu 'alaihi wasalllam bersabda:
"Puasa Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun penuh." ( Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam "Shahih" mereka.)

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa berpuasa Ramadham lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun. " (HR. Al-Bazzar) (Al Mundziri berkata: "Salah satu sanad yang befiau miliki adalah shahih.")

Pahala puasa Ramadhan yang dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal menyamai pahala puasa satu tahun penuh, karena setiap hasanah (tebaikan) diganjar sepuluh kali lipatnya, sebagaimana telah disinggung dalam hadits Tsauban di muka.

Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat, di antaranya :

1. Puasa enam hari di buian Syawal setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.

2.  Puasa Syawal dan Sya'ban bagaikan shalat sunnah rawatib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidak sempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.

3.  Membiasakan   puasa   setelah   Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah Ta'ala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan: "Pahala'amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya." Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama.

Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.

4.  Puasa Ramadhan -sebagaimana disebutkan di muka- dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lain. Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari Raya'ldul Fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.

Oleh karena itu termasuk sebagian ungkapan rasa syukur seorang hamba atas pertolongan dan ampunan yang telah dianugerahkan kepadanya adalah dengan berpuasa setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah menggantinya dengan perbuatan maksiat maka ia termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali. Allah Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali "(An-Nahl: 92)

5. Dan di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang  dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup.

Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fi sabilillah lantas kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan sebab mereka merasa berat, jenuh dan lama berpuasa Ramadhan.

Barangsiapa merasa demikian maka sulit baginya untuk bersegera kembali melaksanakan puasa, padahal orang yang bersegera kembali melaksanakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah puasa, ia tidak merasa bosam dan berat apalagi benci.

Seorang Ulama salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya pada bulan Ramadhan tetapi jika Ramadhan berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar:

"Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah secara benar kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang shalih adalah yang beribadah dengan sungguh-sunggguh di sepanjang tahun."

Oleh karena itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat proses pembebasan dirinya dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal, dengan demikian ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal.

Ketahuilah, amal perbuatan seorang mukmin itu tidak ada batasnya hingga maut menjemputnya. Allah Ta'ala berfirman :
"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) " (Al-Hijr: 99)

Dan perlu diingat pula bahwa shalat-shalat dan puasa sunnah serta sedekah yang  dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala pada bulan Ramadhan adalah disyari'atkan sepanjang tahun, karena hal itu mengandung berbagai macam manfaat, di antaranya; ia sebagai pelengkap dari kekurangan yang terdapat pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba-Nya, sebab terkabulnya doa, demikian pula sebagai sebab dihapusnya dosa dan dilipatgandakannya pahala kebaikan dan ditinggikannya kedudukan.

Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan, shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu ke haribaan Nabi, segenap keluarga dan sahabatnya.