ZAKAT FITRAH
Diantara dalil yang menganjurkan
untuk menunaikan zakat fitrah adalah :
1. Firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan
diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat" (Al-A'la: 14-15)
2. Hadits shahih yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu, ia berkata :
" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah bagi orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki
dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan agar (zakat fituah tersebut) ditunaikan
sebelum orang-orang melakukan shalat 'Id (hari Raya) "
(Muttafaq 'Alaih)
Setiap muslim wajib membayar zakat
fitrah untuk dirinya dan orang yang dalam tanggungannya sebanyak satu sha' (+- 3 kg) dari bahan makanan yang berlaku
umum di daerahnya. Zakat tersebut wajib baginya jika masih memiliki sisa makanan untuk diri dan keluarganya selama sehari
semalam.
Zakat tersebut lebih diutamakan dari sesuatu yang lebih bermanfaat bagi fakir miskin.
Adapun waktu pengeluarannya yang
paling utama adalah sebelum shalat 'Id, boleh juga sehari atau dua lari sebelumnya, dan tidak boleh mengakhirkan mengeluaran
zakat fitrah setelah hari Raya. Dari Ibnu
Abbas radhiallahu 'anhuma :
"Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fihrah sebagai penyuci orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan ucapan
kotor, dan sebagai pemberian makan kepada fakir miskin.
"Barangsiapa
yang mengeluarkannya sebelum shalat 'Id, maka zakatnya diterima, dan barang siapa yang membayarkannya setelah shalat 'Id maka
ia adalah sedekah biasa. "(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
(Dan
diriwayatkan pula Al Hakim, beliau berkata : shahih menurut kriteria Imam Al-Bukhari.)
Zakat fitrah tidak boleh diganti
dengan nilai nominalnya(*),(*)''' Berdasarkan hadits Abu Said Al Khudhri yang menyatakan bahwa zakat fithrah adalah dari limajenis
makanan pokok (Muttafaq 'Alaih). Dan inilah pendapat jumhur ulama. Selanjutnya sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud
adalah makanan pokok masing-masing negeri. Pendapat yang melarang mengeluarkan zakat fithrah dengan uang ini dikuatkan bahwa
pada zaman Nabi shallallahu hlaihi wasallam juga terdapat nilai tukar (uang), dan seandainya dibolehkan tentu beliau memerintahkan
mengeluarkan zakat dengan nilai makanan tersebut, tetapi beliau tidak melakukannya. Adapun yang membolehkan zakat fithrah
dengan nilai tukar adalah Madzhab Hanafi.
Karena hal itu tidak sesuai dengan
ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan diperbolehkan bagi jamaah (sekelompok manusia) membeyikan jatah seseorang, demikian
pula seseorang boleh memberikan jatah orang banyak.
Zakat fitrah tidak boleh diberikan
kecuali hanya kepada fakir miskin atau wakilnya. Zakat ini wajib dibayarkan ketika terbenamnya matahari pada malam 'Id. Barangsiapa
meninggal atau mendapat kesulitan (tidak memiliki sisa makanan bagi diri dan keluarganya, pen.) sebelum terbenamnya matahari,
maka dia tidak wajib membayar zakat fitrah. Tetapi jika ia mengalaminya seusai terbenam matahari, maka ia wajib membayarkannya
(sebab ia belum terlepas dari tanggungan membayar fitrah).
Hikmah disyari'atkannya Zahat Fitrah
Di antara hikmah disyari'atkannya
zakat fitrah adalah :
a. Zakat fitrah merupakan
zakat diri, di mana Allah memberikan umur panjang baginya sehingga ia bertahan dengan nikmat-l\lya.
b. Zakat fitrah juga merupakan
bentuk pertolongan kepada umat Islam, baik kaya maupun miskin sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada
Allah Ta'ala dan bersukacita dengan segala anugerah nikmat-Nya.
c. Hikmahnya yang paling
agung adalah tanda syukur orang yang berpuasa kepada Allah atas nikmat ibadah puasa. (Lihat Al Irsyaad Ila Ma'rifatil Ahkaam,
oleh Syaikh Abd. Rahman bin Nashir As Sa'di, hlm. 37. )
d. Di antara hikmahnya adalah
sebagaimana yang terkandung dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma di atas, yaitu puasa merupakan pembersih bagi yang
melakukannya dari kesia-siaan dan perkataan buruk, demikian pula sebagai salah satu sarana pemberian makan kepada fakir miskin.
Ya Allah terimalah shalat· kami,
zakat dan puasa kami serta segala bentuk ibadah kami sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan
selalu kepada Nabi Muhammad, segenap keluarga dan sahabatnya. Amin.
HARI
RAYA
Hari raya adalah saat berbahagia
dan bersuka cita. Kebahagiaan dan kegembiraan kaum mukminin di dunia adalah karena Tuhannya, yaitu apabila mereka berhasil
menyempurnakan ibadahnya dan memperoleh pahala amalnya dengan kepercayaan terhadap janji-Nya kepada mereka untuk mendapatkan
anugerah dan ampunan-Nya. Allah Ta 'ala berfirman :
"Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.
Karunia Allah
dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. " (Yunus: 58).
Sebagian orang bijak berujar:
"Tiada seorang pun yang bergembira dengan selain Allah kecuali karena kelalaiannya terhadap Allah, sebab orang yang lalai
selalu bergembira dengan permainan dan hawa nafsunya, sedangkan orang yang berakal merasa Senang dengan Tuhannya."
Ketika Nabi shallallahu alaihi
wasallam tiba di Madinah, kaum Anshar memiliki dua hari istimewa, mereka bermain-main di dalamnya, maka Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
"Allah telah
memberi ganti bagi kalian dua hari yang jauh lebih baik, (yaitu) 'Idul fitri dan 'Idul Adha (HR. Abu Daud dan An-Nasa'i dengan sanad hasan).
Hadits ini menunjukkan bahwa menampakka
rasa suka cita di hari Raya adalah sunnah da disyari'atkan. Maka diperkenankan memperluas hari Raya tersebut secara menyeluruh
kepada segenap kerabat dengan berbagai hal yang tidak diharamkan yang bisa mendatangkan kesegaran badan dan melegakan jiwa,
tetapi tidak menjadikannya lupa untuk ta'at kepada Allah.
Adapun yang dilakukan kebanyakan
orang di saat hari Raya dengan berduyun-duyun pergi memenuhi berbagai tempat hiburan dan permainan adalah tidak dibenarkan,
karena hal itu tidak sesuai dengan yang disyari'atkan bagi mereka seperti melakukan dzikir kepada Allah. Hari Raya tidak identik
dengan hiburan, permainan dan penghambur-hamburan (harta), tetapi hari Raya adalah untuk berdzikir kepada Allah dan bersungguh-sungguh
dalam beribadah. Makanya Allah gantikan bagi umat ini dua buah hari Raya yang sarat dengan hiburan dan permainan dengan dua
buah Hari Raya yang penuh dzikir, syukur dan ampunan.
Di dunia ini kaum mukminin mempunyai
tiga hari Raya: hari Raya yang selalu datang setiap minggu dan dua hari Raya yang masing-masing datang sekali dalam setiap
tahun.
Adapun hari Raya yang selalu datang
tiap minggu adalah hari Jum'at, ia merupakan hari Raya mingguan, terselenggara sebagai pelengkap (penyempurna) bagi shalat
wajib lima kali yang merupakan rukun utama agama islam setelah dua kalimat syahadat.
Sedangkan dua hari Raya yang tidak
berulang dalam waktu setahun kecuali sekali adalah:
1. 'Idul Fitri setelah puasa Ramadhan,
hari raya ini terselenggara sebagai pelengkap puasa Ramadhan yang merupakan rukun dan asas Islam keempat. Apabila kaum muslimin
merampungkan puasa wajibnya, maka mereka berhak mendapatkan ampunan dari Allah dan terbebas dari api Neraka, sebab puasa Ramadhan
mendatangkan ampunan atas dosa yang lain dan pada akhirnya terbebas dari Neraka.
Sebagian manusia dibebaskan dari
Neraka padahal dengan berbagai dosanya ia semestinya masuk Neraka, maka Allah mensyari'atkan bagi mereka hari Raya setelah
menyempurnakan puasanya, untuk bersyukur kepada Allah, berdzikir dan bertakbir atas petunjuk dan syari'at-Nya berupa shalat
dan sedekah pada hari Raya tersebut.
Hari Raya ini merupakan hari pembagian
hadiah, orang-orang yang berpuasa diberi ganjaran puasanya, dan setelah hari Raya tersebut mereka mendapatkan ampunan.
2. 'Idul Adha Oiari Raya Kurban),
ia lebih agung dan utama daripada 'Idul Fitri. Hari Raya ini terselenggara sebagai penyempurna ibadah haji yang merupakan
rukun Islam kelima, bila kaum muslimin merampungkan ibadah hajinya, niscaya diampuni dosanya.
Inilah macam-macam hari Raya kaum
muslimin di dunia, semuanya dilaksanakan saat rampungnya ketakwaan kepada Yang Maha Menguasai dan Yang Maha Pemberi, di saat
mereka berhasil memperoleh apa yang dijanjikan-Nya berupa ganjaran dan pahala. (Lihat Lathaa'iful Ma'arif, oleh
Ibnu Rajab, hlm. 255-258)
PETUNJUK NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WASALLAM TENTANG HARI RAYA
Pada saat hari Raya 'Idul Fitri,
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengenakan pakaian terbaiknya dan makan kurma -dengan bilangan ganjil tiga, lima atau tujuh-
sebelum pergi melaksanakan shalat 'Id. Tetapi pada'Idul Adha beliau tidak makan terlebih dahulu sampai beliau pulang, setelah
itu baru memakan sebagian daging binatang sembelihannya.
Beliau mengakhirkan shalat 'Idul
Fitri agar kaum muslimin memiliki kesempatan untuk membagikan zakat fitrahnya, dan mempercepat pelaksanaan shalat 'Idul Adha
supaya kaum muslimin bisa segera menyembelih binatang kurbannya.
Mengenai hal tersebut, Allah Ta
'ala berfirman :
"Maka dirikanlah
shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah " (Al Kautsar:
2).
Ibnu Umar sungguh dalam mengikuti
sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak keluar untuk shalat 'Id kecuali setelah terbit matahari, dan dari rumah sampai
ke tempat shalat beliau senantiasa bertakbir.
Nabi shallallahu blaihi wasallam
melaksanakan shalat' Id terlebihdahulu baru berkhutbah, dan beliau shalat duaraka'at· Pada rakaat pertama beliau bertakbir
7 kali berturut-turut dengan Takbiratul Ihram, dan berhenti sebentar di antara tiap takbir. Beliau tidak mengajarkan dzikir
tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja ada riwayat dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu, ia berkata: "Dia membaca hamdalah
dan memuji Allah Ta 'ala serta membaca shalawat.
Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Umar
mengangkat kedua tangannya pada setiap bertakbir.
Sedangkan Nabi shallallah u 'alaihi
wasallam setelah bertakbir membaca surat Al-Fatihah dan "Qaf" pada raka'at pertama serta surat "Al-Qamar" di raka'at kedua.
Kadang-kadang beliau membaca surat
"Al-A'la" pada raka'at pertama dan "Al-Ghasyiyah" pada raka'at kedua. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku' dilanjutkan takbir
5 kali pada raka'at kedua lain membaca Al-Fatihah dan surat. Setelah selesai beliau menghadap ke arah jamaah, sedang mereka
tetap duduk di shaf masing-masing, lalu beliau menyampaikan khutbah yang berisi wejangan, anjuran dan larangan.
Beliau selalu melalui jalan yang
berbeda ketika yang terkenal sangat bersungguh-mengikuti sunnah Nabi shallallahu berangkat dan pulang (dari shalat) 'Id.'
Beliau selalu mandi sebelum shalat 'Id.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
senantiasa memulai setiap khutbahnya dengan hamdalah, dan bersabda :
"Setiap perkara yang tidak dimulai dengan hamdalah, maka ia terputus (dari berkah).
" (HR.Ahmad dan lainnya).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma,
ia berkata :
"Bahwasanya Nabi shallallahu
'alaihi wasallam menunaikan shalat 'Id dua raka'at tanpa disertai shalat yang lain baik sebelumnya ataupun sesudahnya.
" (HR. Al Bukhari dan Muslim dan yang lain).
Hadits ini menunjukkan bahwa shalat
'Id itu hanya dua raka'at, demikian pula mengisyaratkan tidak disyari'atkan shalat sunnah yang lain, baik sebelum atau sesudahnya.
Allah Mahatahu segala sesuatu, shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, seluruh anggota keluarga
dan segenap sahabatnya.
KEUTAMAAN PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWAL
Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu
'anhu meriwayatkan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan
Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun . (HR. Muslim).
Imam Ahmad dan An-Nasa'i, meriwayatkan
dari Tsauban, Nabi shallallahu 'alaihi wasalllam bersabda:
"Puasa Ramadhan (ganjarannya) sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di
bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun penuh." ( Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam "Shahih" mereka.)
Dari Abu Hurairah radhiallahu
'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa berpuasa Ramadham lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama
setahun. " (HR. Al-Bazzar) (Al Mundziri berkata: "Salah
satu sanad yang befiau miliki adalah shahih.")
Pahala puasa Ramadhan yang dilanjutkan
dengan puasa enam hari di bulan Syawal menyamai pahala puasa satu tahun penuh, karena setiap hasanah (tebaikan) diganjar sepuluh
kali lipatnya, sebagaimana telah disinggung dalam hadits Tsauban di muka.
Membiasakan puasa setelah Ramadhan
memiliki banyak manfaat, di antaranya :
1. Puasa enam hari di buian Syawal
setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.
2. Puasa Syawal dan Sya'ban
bagaikan shalat sunnah rawatib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan
fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam di berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidak
sempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.
3. Membiasakan
puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah Ta'ala menerima
amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan: "Pahala'amal
kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya." Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan
kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama.
Demikian pula sebaliknya, jika
seseorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.
4. Puasa Ramadhan -sebagaimana
disebutkan di muka- dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lain. Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya
pada hari Raya'ldul Fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah 'Idul Fitri merupakan bentuk
rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.
Oleh karena itu termasuk sebagian
ungkapan rasa syukur seorang hamba atas pertolongan dan ampunan yang telah dianugerahkan kepadanya adalah dengan berpuasa
setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah menggantinya dengan perbuatan maksiat maka ia termasuk kelompok orang yang membalas
kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi, maka puasanya
tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali. Allah Ta'ala
berfirman:
"Dan janganlah kamu seperti
seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali "(An-Nahl: 92)
5. Dan di antara manfaat puasa
enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan
Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup.
Orang yang setelah Ramadhan berpuasa
bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fi sabilillah lantas
kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan sebab mereka merasa berat, jenuh dan
lama berpuasa Ramadhan.
Barangsiapa merasa demikian maka
sulit baginya untuk bersegera kembali melaksanakan puasa, padahal orang yang bersegera kembali melaksanakan puasa setelah
'Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah puasa, ia tidak merasa bosam dan berat apalagi benci.
Seorang Ulama salaf ditanya tentang
kaum yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya pada bulan Ramadhan tetapi jika Ramadhan berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh
lagi, beliau berkomentar:
"Seburuk-buruk kaum adalah yang
tidak mengenal Allah secara benar kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang shalih adalah yang beribadah dengan sungguh-sunggguh
di sepanjang tahun."
Oleh karena itu sebaiknya orang
yang memiliki hutang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat proses pembebasan dirinya
dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal, dengan demikian ia telah melakukan puasa Ramadhan
dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal.
Ketahuilah, amal perbuatan seorang
mukmin itu tidak ada batasnya hingga maut menjemputnya. Allah Ta'ala berfirman :
"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) " (Al-Hijr: 99)
Dan perlu diingat pula bahwa shalat-shalat
dan puasa sunnah serta sedekah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala pada bulan
Ramadhan adalah disyari'atkan sepanjang tahun, karena hal itu mengandung berbagai macam manfaat, di antaranya; ia sebagai
pelengkap dari kekurangan yang terdapat pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah (kecintaan) Allah
kepada hamba-Nya, sebab terkabulnya doa, demikian pula sebagai sebab dihapusnya dosa dan dilipatgandakannya pahala kebaikan
dan ditinggikannya kedudukan.
Hanya kepada Allah tempat memohon
pertolongan, shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu ke haribaan Nabi, segenap keluarga dan sahabatnya.